Cerpen Lelaki Gagah (akhir)

: 11:29:00 PM

Begitulah. Selama beberapa hari, pagi dan malam, kotak pesan di ponselku dipenuhi dengan berbagai ucapan lembut. Dan aku semakin khawatir. Besok istriku pulang. Jika ia menemukan pesan romantis seperti itu di ponselku, keadaan bisa runyam. Perang Dunia III bisa pecah hanya karena sebuah kesalahpahaman yang lebih konyol dari terbunuhnya Pangeran Franz Ferdinand yang memicu pecahnya Perang Dunia I. Maka kuputuskan untuk bertemu langsung dengannya yang menyelesaikan soal kekaguman masa silam ini baik- baik. Aku kirimkan pesan: Bisakah kita ketemu se- sudah jam kerja hari ini? Kita harus bicarakan hal ini dengan tuntas. Lalu kutambahkan nama sebuah kafe internasional di sebuah mall sebagai tempat bertemu. Satu jam tak ada balasan, dua jam, lalu tiga. Sekitar 30 menit menjelang bubar kantor, sebuah pesan yang kutunggu masuk. Pendek saja: OK, lelaki gagah.

Ketika sampai di depan kafe, suasana sudah ramai. Aku mencari-cari wajah yang bisa kukenal dari kerumunan itu. April? Dyas? Yvonne? Pingkan? Rosana? Jangan-jangan Nissa? Aku lihat dua buah kursi kosong di salah satu sudut. Sempurna. Aku bergegas ke tempat itu. Dari sana aku bisa dengan mudah memantau siapa yang datang. Mataku lalu berkelana dari meja ke meja. Tak ada yang kukenal. Tunggu dulu! Di salah satu meja aku merasa kenal dengan tubuh yang membelakangiku. Aku perhatikan tiga lelaki lain yang duduk di meja itu, semua berambut gondrong, rocker dari kelompok Kingdom of Sound. Aku bangkit menuju meja itu dan menepuk bahu seseorang yang membelakangiku. "Bongkeng?"

Bongkeng terkejut ketika memutar badannya melihatku. "Alex!" Matanya menyapu seisi ruangan. "Wow, sama siapa, man?"

"Lagi nunggu orang," jawabku pendek. "Lagi nggak tur?"

"Rencananya baru jalan besok. O ya kenalin nih teman-teman gue," katanya memperkenalkan teman-teman bandnya satu persatu.

Sebenarnya tanpa diperkenalkan pun aku sudah tahu nama-nama mereka. Bahkan seisi ruangan ini pun sudah tahu siapa saja mereka karena popularitas Kingdom of Sound yang sedang merajalela di berbagai tangga lagu radio dan televisi. Tapi kujabat juga tangan mereka satu per satu sambil memperkenalkan diri.

Ketika akhirnya selesai menyalami mereka, Bongkeng berbisik di telingaku. "Udah datang belum cewek lu?"

Aku melotot ke arahnya dan balas berbisik. "Gila lu! Gue udah married dan punya buntut."

"So what?" Sikap cuek Bongkeng muncul. "Gue tahulah ciri- ciri orang yang gagap selingkuh kayak lu, man?" Ia menepuk-nepuk bahuku. "Datang sendiri-sendiri buat rendezvous!" Tawanya bergelombang diikuti kawan-kawannya.

Sialan! Meski dugaannya tidak sepenuhnya benar, tapi juga tidak sepenuhnya salah. Bongkeng mengedipkan matanya ke arahku. "Lex, lu lihat pelan-pelan ke arah jam 2. Mereka pasti punya affair, bukan kekasih apalagi suami istri."

Aku memutar kepalaku perlahan dan memperhatikan pasangan di meja itu. Si lelaki yang kukira berusia di atas 40-an, terus mencari kesempatan untuk menyentuh tangan wanita di depannya. Api nafsu berkobar-kobar di matanya tak terkendali. Rasanya Bongkeng benar.

"Ya sudah, selamat nunggu cem-ceman lu, man," suara Bongkeng menyadarkanku. "Gue harus cabut dulu Lex!" Ia bangkit dari kursinya diikuti teman-temannya. Aku melihat ke arah kursiku yang kini sudah diisi orang lain. Akhirnya kuputuskan untuk duduk di kursi bekas Bongkeng dan kawan-kawan saja.

Di luar, temaram senja mulai membungkus kota. Pengunjung kafe datang dan pergi. Tak seorang pun yang kukenal. Di manakah pengagum rahasiaku sedang berada? Apakah ia sedang terjebak macet? Atau malah membatalkan datang karena tak ingin identitasnya terungkap? Aku menghabiskan waktu dengan membaca ulang pesan-pesannya, dan mencoba menebak-nebak siapa yang paling mungkin mengirimkan pesan-pesan seperti itu. Semakin lama aku membaca, semakin jelas tergambar wajah Pingkan di layar ponsel. Wangi tubuhnya, rambutnya, cara matanya yang redup menatapku dengan bibir separuh terbuka. Tak bisa lain, isyarat-isyarat itu terlalu kuat untuk diabaikan. Astaga! Mengapa aku bisa buta terhadap sinyal seperti itu? Gairahku seperti melambung tiba-tiba.

Aku tekan tombol call pada nomor itu. Masuk!

Inilah saatnya kebenaran akan terungkap. Suara empuk Pingkan akan segera terdengar di telingaku. Manis. Kurasakan detak jantungku semakin cepat oleh sensasi yang kurasakan sendiri. Ayo angkat, Pink! Mungkin ia tidak mendengar karena sedang sibuk memarkir mobil, atau ponselnya berada di dalam tas, atau ...

"Alex," sebuah suara terdengar di depanku. Aku mengangkat wajah. Bongkeng. Apakah ia melupakan sesuatu di meja ini? Pemantik api? Rokok?

"Ada yang kelupaan, Keng?" Aku menjawab sekilas sambil berharap di ujung sana suara lembut Pingkan segera terdengar.

"Nggak ada yang ketinggalan kok." Bongkeng dengan tenangnya duduk di depanku. "Apa kabar, lelaki gagah?"

Ponselku terlepas dari genggaman, dan berdentam keras saat menghantam lantai kafe. Berhamburan.***cerpen dari awal