Cerpen Lelaki Gagah 3

: 11:24:00 PM

REUNI yang dirancang tiga bulan itu berlangsung meriah. Aku mengajak anak tunggalku Keanu yang berusia 5 tahun, karena istriku sedang di luar kota untuk sebuah perjalanan dinas.

Di halaman sekolah yang nyaris sudah tak kukenali, wajah-wajah lama bermunculan seperti menyelinap keluar dari album kenangan yang kusam berdebu. Ada Felisha yang dulu kukagumi dari jauh, kini masih menyajikan senyum manis yang sama kendati tubuhnya melebar dua kali lebih besar. Lalu Yvonne, Margi, April, Renny, Dyas, Nissa, Pingkan, Evy, Lusi, untuk menyebut beberapa nama yang wajah mereka pernah berpendar di lorong-lorong ingatanku. Belum lagi anggota tim basket di mana aku dulu pernah bergabung: Jonas, Bongkeng, Said, Peter, Dito, dan Pak Rozak, guru olahraga yang masih terlihat gagah meski kini rambutnya dibiarkan memutih di kedua sisi.

Setiap peserta alumni memakai name tag sehingga memudahkan kami untuk kembali ke masa silam. Topik obrolan melompat-lompat, dan semua saling menimpali. Kelompok-kelompok kecil tersebar di beberapa bagian, seperti yang sedang kuhadapi di depan kantor kepala sekolah.

"Kamu ingat nggak Don, waktu penerimaan anak baru yang sempat pingsan di Gunung Salak itu?"

"Evelyn bukan Met?"

"Bukan, yang sebelumnya lho? Aduh masak sih nggak ada yang ingat?" Rosana menggaruk-garuk rambutnya yang tetap cepak sampai sekarang. Rupanya tetap tomboi dia. "Ingat nggak, Alexku yang ganteng?" Ia mengerling ke arahku. Aku menjawab ragu. "Vita?"

"Bukan. Ayu." Seseorang menimpali.

"Bukan, bukan Ayu. Itu lho, yang agak bule dan waktu itu baru datang dari Kanada." Sebuah suara sopran terdengar.

"Gue ingat, namanya kayak nama Jawa gitu. Hmm apa ya?"

"Wulan!" Si suara sopran menyela seperti mendapat ilham dari langit. Aku lihat name tag di dadanya: Rory. Aha, manis sekali dia sekarang!

"Yoi, Wulan Guritno." Sebuah suara laki-laki yang terdengar berat terdengar.

"Huuu... ngaco." Koor itu tercipta lagi, mencemooh Andre si pemilik suara bariton yang memamerkan seringai tupai kekenyangan.

"Nawang Wulan," kali ini Rosana yang bicara. "Gue ingat, waktu itu sesuai tradisi, setiap anak pencinta alam harus ikut inisiasi minum air di sepatu butut yang diludahi beramai-ramai oleh anggota lain."

"Hiiiih... masak sih kayak begitu syaratnya?" April yang berwajah lembut terlihat bergidik. Aku tertawa kecil melihat ekspresinya yang tetap sebening Winona Ryder. Desir yang dulu kerap kurasakan ketika menatap April kali ini kembali meski lebih halus.

"Betul Pril. Ketika sepatu yang penuh ludah itu sampai di depan Wulan..."

"Ah, sudah dong. Jijik ah!" Sebuah suara lembut lain menginterupsi. Rosana mengabaikan keberatan itu.

"... begitu sampai di tangannya, Wulan langsung muntah dan semaput. Butuh dua jam sampai dia kembali benar-benar siuman, dan minta turun dari Gunung Salak saat itu juga."

Begitulah. Aku berpindah-pindah dari satu kelompok ke kelompok lain, bertukar salam menanyakan kabar, tempat bekerja sekarang, dan pertanyaan favorit: jumlah anak sekarang. Sebagian besar kawan-kawanku sudah menikah, bahkan ada yang anaknya sudah masuk SMP! Tapi tak sedikit pula yang masih lajang.

Tiba-tiba dari arah panggung terdengar suara yang tak asing lagi bagi kami. "Untuk seluruh alumni dan para guru yang berbahagia hari ini saya akan bawakan sebuah lagu yang akan mengingatkan pada era 90-an. Sweet Child O' Mine dari Guns 'N' Roses."

Bongkeng memutar-mutar mikrofon ketika intro lagu itu dimainkan, dan mulai menggoyang badannya mengikuti cara Axl Rose bernyanyi. Kontan saja lapangan itu seakan meledak dengan tepuk riah. Ah ya, lupa kusebutkan dari empat ratusan alumni di angkatanku itu hanya satu orang yang benar-benar menjadi populer dan dikenal secara nasional. Orang itu adalah Bongkeng yang kini menjadi salah satu penyanyi papan atas di Indonesia. Sejak SMA, Bongkeng terlihat profesional dalam menaklukkan panggung, seperti juga ia piawai di lapangan basket. Di antara penonton yang ikut menyanyi bersama, kurasakan Pingkan merapatkan tubuhnya padaku. Rambutnya wangi sekali. Ia mengangkat wajah melihatku. Matanya berbinar aneh. Aku tersenyum samar, mencoba mengurangi debar.

Selepas Bongkeng tampil acara mengalir dengan cepat sampai akhirnya ditutup dengan pengumpulan dana bagi pengembangan perpustakaan sekolah. Reuni itu meninggalkan jejak-jejak kebahagiaan yang tercetak di setiap wajah peserta..bersambung